Mengembangkan Kecerdasan Emosional dan Spritual Melalui Materi Pembelajaran

19
919

Kecerdasan spritual memberikan peranan penting agar manusia dapat mengetahui hakikat penciptaannya, merumuskan tujuan dan maksud hidupnya. Manusia yang cerdas spiritualnya akan memahami bahwa keberhasilan seseorang tidak hanya diukur dari kemampuannya berpikir dan bernalar, atau mengendalikan emosi. Hal yang utama adalah kemampuannya menyadari makna eksistensi dirinya dalam hubungannya dengan Allah pencipta alam semesta (Hablum minallah), dengan orang lain (Hablum minannas), maupun dengan lingkungan alam sekitar.

Membangun kecerdasan emosional dan spiritual siswa berarti bertujuan membangun kesadaran dan pengetahuan anak dalam upaya mengembangkan kemampuan nilai-nilai spiritual dalam dirinya. Seseorang yang memiliki kecerdasan spiritual akan mampu mengatasi semua beban hidup yang super berat menjadi super ringan, termasuk mampu mengatasi semua kekurangan, stres, dan depresi di manapun ia berada. Kecerdasan spiritual membimbing dan menciptakan motivasi yang kuat untuk menjalani berbagai aktivitas sehingga terbentuk pribadi yang tangguh secara mental dan fisik, yang siap berjuang untuk meraih prestasi terbaik di dalam hidupnya

Generasi muda yang cerdas spiritualnya akan memahami bahwa belajar bukanlah menjadi beban yang berat untuk dilaksanakan, tetapi sebaliknya akan menjadi tugas mulia yang dipercayakan Allah SWT kepadanya untuk menuntut ilmu sepanjang hayat. Sesuai hadits Nabi nuntutlah ilmu dari buaian sampai keliang lahat. Generasi muda yang cerdas spiritualnya juga akan memahami bahwa belajar bukan hanya bertujuan untuk memperoleh nilai yang tinggi semata. Lebih dari itu belajar adalah dalam rangka melaksanakan tugas yang diembankan Allah SWT. Dalam Al-Qur’an diterangkan melalui ayat Iqra’ bahwa kita senantiasa harus belajar untuk menjalani segala fenomena kehidupan ini. Sehingga mata pelajaran apapun yang ia pelajari, seharusnya tidak hanya untuk mendapatkan nilai yang tinggi semata melainkan harus dapat mendekatkan dirinya menjadi manusia yang lebih bertakwa. Semakin banyak ia mengetahui fenomena ilmu yang ia pelajari maka semakin tahu maha besar  Allah pencipta alam semesta.

Insan yang cerdas secara intelektual namun rendah kecerdasan emosionalnya, dalam pembelajaran akan menjadi manusia kritis yang senang pamer kepintaran, namun suka menjatuhkan orang lewat argumennya, arogan, mudah tersinggung, gampang marah, sulit bekerja-sama, dan sejumlah perilaku negatif lainnya.

Betapapun pentingnya kecerdasan intelektual dan emosional bagi kesuksesan seseorang, tidak cukup berhenti di situ. Apalah artinya orang yang pintar secara intelektual maupun emosional, tetapi rendah secara spiritual. Orang ini mungkin akan menjadi orang yang berpengetahuan luas, kritis, kreatif, selalu bergairah, ramah, pandai menyenangkan dan meyakinkan orang, trampil bergaul, namun tega berbuat curang: menipu, berbohong, berkhianat, memfitnah, menjarah hak orang lain, bertindak korup, dan  seterusnya.

Orang yang pintar secara intelektual, dapat melakukan kejahatan secara canggih sehingga sulit terlacak atau terbongkar karena dapat menghapus jejak, membungkus dan membentengi perbuatannya. Demikian pula karena dia cerdas secara emosional maka dia trampil dalam mengelola emosi-dirinya (self-regulation) sehingga kendati berbuat culas, dia mampu tampil tenang, penuh senyum meyakinkan, bahkan sukses merekayasa kesan diri sebagai orang baik, penolong bak musang berbulu domba Orang seperti ini akan menjadi orang yang sangat berbahaya bagi kehidupan bersama.

Selain kecerdasan intelektual dan emosional, mutlak diperlukan kecerdasan spiritual, yakni kemampuan orang untuk membedakan kebaikan dan keburukan, kesanggupan untuk memilih atau berpihak pada kebaikan, serta dapat merasakan nikmatnya berbuat baik.  Pribadi yang sanggup berbuat jujur, lurus, adil, meskipun akibatnya secara material atau secara “duniawi” mungkin ia harus menanggung kerugian. Dengan senantiasa menghidupkan hati nurani, menjadikan Tuhan pencipta alam sebagai pusat orientasi semua tindakan. Memberi maaf, bersyukur atau mengungkapkan terimakasih, bersikap rendah hati, menunjukkan kasih sayang dan kearifan, hanyalah sebagian dari kebajikan. Karakteristik terakhir ini sesuai dengan sabda nabi Muhammad SAW, “Amal paling utama ialah engkau masukkan rasa bahagia pada sesama manusia”.

Dengan demikian jelaslah bahwa seharusnya urutan prioritas dalam pengasahan kemampuan manusiawi (human capability) dalam sistem pendidikan adalah pencerdasan spiritualitas sebagai yang utama, kemudian pencerdasan emosionalitas, dan terakhir pencerdasan intelektualitas.  Ketiganya penting, namun urutan nilai kepentingannya haruslah seperti itu, tidak terbalik seperti dalam praktik pendidikan kita saat ini.

Mengembangkan Emosional Spritual pada materi fekuensi audio

Pernahkah pada materi ini kita menjelaskan bagaimana suara yang didengar tumbuhan dan binatang ? Sehingga pada saat Rasul melewati sebuah kubur untanya diam tidak mau jalan sehingga para sahabat kebingungan. Pernahkah kita menjelaskan bagaimana bunyi ini dapat menghancurkan suatu benda keras sehingga proses kiamat kubro kehancuran alam ini nantinya hanya dengan sebuah bunyi / suara dengan ditiupkannya terompet sangkakala ?

Frekuensi audio yang tidak dapat didengar oleh manusia dibawah < 20 Hz, audio yang berfrekuensi ini biasanya hanya didengar oleh binatang. Frekuensi audio diatas 20 kHz ini disebut ultrasonik, pada daerah ini bunyi/suara akan dapat menghancurkan suatu benda jika frekuensi ambang benda tersebut lebih kecil dari pada frekuensi yang datang. Bersyukur kita memiliki rentang pendengaran antara 20 Hz s/d 20 kHz, jika tidak mungkin kita akan mendengar seluruh suara yang ada dialam ini. Seekor unta yang mendengar pedihnya siksaan alam kubur tidak bisa jalan, bagaimana kalau kita sebagai manusia yang dapat mendengar mungkin tidak akan mau lagi melakukan aktivitas sehari-hari. bahkan tidurpun tidak bisa.

Guru hanya menyampaikan daerah frekuensi yang dapat didengar oleh manusia normal, hanya sebatas itu saja. Tetapi jika kita arahkan kepada kejadian diatas maka siswa akan takjub bahwa fenomena ilmiah tidak berlawanan dengan fenomena ilahiah.

Berdasarkan contoh materi  di atas ternyata untuk menjadi  ” Da’i ” tidaklah harus menjadi seorang Ustadz, Pendeta, Pastor atau Biksu bukan? Guru teknik elektronika  juga bisa berperan penting dalam membantu menegakkan nilai-nilai Ketuhanan dalam diri generasi muda. Jika pendidik dapat memberikan pemahaman yang benar tentang konsep yang harus dikuasai oleh peserta didik, maka rasa keingintahuan, perhatian, dan minat dalam mempelajari semua mata pelajaran, serta sikap ulet dan percaya diri dalam memecahan masalah, tidak mudah menyerah dan berputus asa akan berkembang pada setiap individu generasi sekarang ini. Semoga.. (Img: antaranews)

Oleh: Yusrizal Panjaitan, S.Pd

19 KOMENTAR

  1. Jika metode ini dikembangkan oleh guru-guru maka tidak perlu kurikulum berkarakter ataupun kurikulum 2013 yang sekarang menjadi dilema… dengan kecerdasan emosional dan spritual yang baik bangsa akan maju..

  2. @zikri : setiap kebijakan pasti ada maksud dan tujuannya.. jika tujuannya baik maka akan mendatangkan kebaikan, jika salah maka anak didik yang menjadi korban…

  3. kalau semua pendidik memiliki kesadaran untuk menanamkan nilai2 spritual maka bangsa ini akan menjadi baik… amin.. artikle yg inspiratif dari seorg guru dengan pembelajarannya..

  4. penguatan emosional perlu agar generasi muda tidak tukang tawuran gara2 gak bisa menahan emosi.. betul gak..

  5. subhanallah… bunyi yang akn menghancurkan dunia ini… pembelajaran yg diluar pengetahuan kami… ada gak yg lain ya… dari materi pembelajaran mendekatkan dirinkpd Allah… persiapan Ramadhan..

Tinggalkan Balasan