Film ‘Satu Alamat’, Ikhtiar Santri Lestarikan Kerukunan Umat

0
296

Septinina, santriwati yang menuntut ilmu agama di Pondok Pesantren Al Muayat, memotret sisi menarik dalam kehidupan sosial masyarakat kota Solo, Jawa Tengah. Bersama beberapa temannya, gadis remaja berusia 17 tahun ini menggambarkan toleransi antar masyarakat kota warisan kerajaan Mataram dalam satu film dokumenter.

Dalam dokumentasi gambar bergerak itu, Oxi berperan ganda, sebagai sutradara film sekaligus pemeran utama bernama Anisa. Dokumenter ini disajikan dengan mengisahkan seorang gadis remaja putri yang keseharian belajar agama dan mengaji di pesantren. Dia gelisah dengan maraknya kelompok ekstrem, kelompok teroris ditangkap di kota tersebut yang ramai menghiasi pemberitaan media massa.

Bersama lima temannya, yakni Laula Sawitri Hilman, Siti Zaenab, Anisa Nur Khasanah, Yuyun Najihah Al-Kholisi, dan Ashfiya, gadis remaja itu pun melahirkan karya film dokumenter berjudul ‘Satu Alamat’. Film yang diproduksi oleh para santriwati Pondok Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan, Solo, sarat dengan nilai-nilai kerukunan antar umat beragama yang hidup berdampingan dan antikekerasan. Film itu dibikin sekitar Januari tahun lalu.

Dalam perbincangan dengan VIVAnews, Oxi menjelaskan, film pendek ini menceritakan kerukunan umat beragama di salah satu sudut kota Solo, yaitu di Jalan Gatot Subroto nomor 222, Serengan. Kerukunan itu tergambarkan lewat bangunan yang berdiri berdampingan dalam satu pekarangan, Masjid Al-Hikmah dan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningratan. Di masjid ini tidak ada bedug, begitu pula dengan gerejanya, tidak ada lonceng. Dengan demikian, pemeluk dua agama itu tidak saling mengganggu saat beribadah.
“Dengan gambar ini membuktikan bahwa Solo bukan kota teroris,” kata Oxi beberapa waktu lalu.

Bagi Oxi, tak adanya dua benda simbol agama–bedug dan lonceng– memberikan sebuah pembelajaran menarik. Menurutnya, agama itu bukan sekadar simbol, tapi juga menyangkut pembinaan hubungan horizontal antar umat beragama.

“Kami mengambil gambar di gereja pada hari Minggu saat jemaat beribadah. Mereka semua ramah, bahkan melihat kami lama berdiri mengambil gambar, mereka menyediakan saya kursi,” tuturnya.

Dari film dokumenter ini, para santri belajar untuk memahami dan pengembangkan nilai toleransi. Oxi bersama temannya belajar bahwa membina kerukunan umat beragama sangat penting. Mengamalkan salah satu ayat dalam Alquran yang berbunyi: “Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.”

Seadanya

Penggagas ide cerita film dokumenter ini, Ashfiya Nur Atqia (19) mengatakan, mereka membuat film tersebut dengan peralatan seadanya. Hanya menggunakan kamera handycamkecil. Sebelum memproduksi film tersebut mereka mendapatkan pelatihan singkat dengan teman-temannya dari lembaga Search For Common Ground.

“Karena kami pemula, sebelum produksi film kami di-training hanya tiga hari,” kata remaja putri yang duduk di bangku kuliah Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo tersebut.

Ashfiya yang memiliki hobi nonton film ini menceritakan, sejak kecil ia sering di ajak jalan-jalan menyusuri sudut kota Solo oleh ayahnya. Dalam jalan-jalan itu, dia dan ayahnya kerap melewati dua tempat ibadah yang berbeda agama tersebut. “Sejak kecil saya sering lewat sana,” tuturnya.

Salah satu bentuk toleransi kedua umat beda agama itu, lanjut Ashfiya, apabila di gereja menggelar kebaktian saat jam Salat Magrib, mereka menunggu umat muslim selesai Salat di Masjid terlebih dahulu. Begitu pula sebaliknya, saat umat kristiani merayakan hari Natal, yang muslim juga ikut membantu.

Film ‘Satu Alamat’ ini merupakan salah satu film peserta Festival Film Santri 2013 yang digagas oleh Search for Common Ground, organisasi nirlaba yang concern dengan promosi perdamaian dan toleransi. Program yang didukung oleh The Wahid Institue dan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) ini membekali santri-santri dengan keterampilan produksi radio dan video dokumenter untuk menyuarakan nilai Islam yang damai dan toleran. [Sumber]

Tinggalkan Balasan